Rabu, 27 Februari 2019

RCO Level 3 Tantangan 2

Detik-Detik Yang Menentukan



Memenuhi tugas tantangan ke 2 di level ke 3 Reading Challenge ODOP ini yang menanyakan Bagaimana pendapat saya tentang sejarah dalam buku yang saya baca yaitu Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

"Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta." Demikian sebuah ungkapan dari Kuntowijoyo dalam pengantar ilmu sejarah. Ungkapan itu memang benar adanya. Seperti yang beberapa hari saya rasakan setelah membaca sebuah Buku Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, setidaknya sudah memberitahukan saya tentang perjalanan demokrasi di negara kita selama ini.

Buku Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi ini merupakan sebuah rekaman ulang tentang perjalanan demokrasi dan politik di negara kita. Karena buku ini  ditulis oleh Bacharuddin Jusuf Habibie berdasarkan catatan harian milik beliau dan juga dari komentar-komentar yang dituliskan oleh berbagai surat kabar nasional.

BJ. Habibie mulai membuka catatan hariannya ketika pada suatu malam tanggal 20 Mei 1998. Beliau dikagetkan dengan suara telp yang ternyata datang dari Menteri Sekretaris Negara yang mengabarkan bahwa besok pagi Presiden Suharto akan mengundurkan diri dari jabatan kepresidenannya. Beliau tidak bisa memperkirakan tentang apa maksud dari pengunduran diri Presiden Suharto.   Keadaannyaa sungguh berubah daringat cepat padahal baru saja kemarin malam beliau bersama Presiden Suharto merumuskan sebuah susunan kabinet yang akan diumumkannya pada tgl 23 Mei mendatang di Istana Merdeka di depan DPR/MPR.

Pada catatan hariannya BJ. Habibie juga menuliskan tentang Silaturahim beliau dengan Presiden Suharto, sosok yang selama ini sangat dihormatinya, namun saat itu Presiden Suharto enggan untuk menemuinya. Tidak sampai di situ beliau pun berusaha menghubungi Presiden Suharto dengan berbagai cara namun hasilnya tetap saja nihil.

Beberapa hari kemudian tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Suharto menyerahkan kekuasaannya kepada beliau yang pada saat itu menjabat sebagai wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini. Dengan adanya perpindahan kekuasaan ini banyak sekali bermunculan berbagai komentar dan pernyataan yang bernada negatif tentang keraguan terhadap kepemimpinan beliau. Namun dengan keteguhan prinsip yang dipegangnya beliau tetap legowo dan berlapang dada dalam menanggapinya. Beliau bertekad akan membuktikan dan membantah keraguan mereka yang keliru dengan tindakan dan karya nyata.

Melalui buku Detik-Detik yang Menentukan ini beliau mengungkapkan tentang bagaimana sikap beliau dalam menghadapi banyak tekanan yang datang dari berbagai pihak. Salah satunya ketika beliau didesak dalam waktu tiga bulan untuk dapat menyelenggarakan pemilu. Dari sinilah perjalanan panjang tentang demokrasi di mulai. Dengan tegas beliau menolak  desakan tersebut. Karena menurutnya tidak adil apabila pemilu diadakan sebelum rakyat diberikan kesempatan untuk menyampaikan segala aspirasinya melalui pembentukan partai sebagai wawasan baru dalam berpolitik. Seperti yang kita tau akhirnya pemilu diadakan setahun berikutnya dengan diikuti sebanyak 48 partai yang membawa aspirasi rakyat.

Dalam buku Detik-Detik yang Menentukan Perjalanan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi ini beliau juga meluruskan berbagai isu negatif yang saat itu beredar luas di masyarakat tentang ancaman Prabowo yang meminta jabatan pangab dengan cara mendatangi beliau dengan membawa senjata adalah tidak benar. Meski kekuasaan beliau sangat singkat yaitu hanya sekitar  lima ratus dua belas hari dalam memimpin Negara yang kita cintai ini namun beliau telah membuktikan melalui sikapnya yang tegas dalam memperjuangkan HAM dan Demokrasi Indonesia. Salah satunya adalah tentang masalah Timor Timur yang merupakan propinsi yang ke 27 ini yang pada akhirnya melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kita cintai. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 45. BJ. Habibie telah menunjukkan bagaimana sikapnya sebagai seorang Demokrat dengan berbagai aksi dan karya nyata terutama tentang demokrasi.

Demikian sebuah ulasan tentang pendapat dari buku yang saya baca Detik- Detik yang Menentukan Perjalanan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

#readingchallengeodop
#onedayonepost
#rco
#rcolevel3tantangan2

Selasa, 19 Februari 2019

Reading Challenge Odop Level 2 Tantangan 3

Warso

Pagi ini Ketika turun dari bus, aku harus melanjutkan kembali perjalanan dengan menggunakan sebuah angkutan pedesaan untuk sampai ke sebuah desa yang akan menjadi tempat tugasku. Sebagai dokter Koas di sebuah puskesmas. Setelah beberapa tahun, akhirnya aku berhasil menyelesaikan pendidikan kedokteran yang selama ini aku cita-citakan. Desa itu adalah sebuah desa terpencil yang terletak di sebuah kaki gunung. Yang sangat jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Desa itu adalah desa Penanggapan. Sebuah desa yang berada di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Suasana pagi ini masih terasa sangat sepi. Sudah hampir 35 menit lebih aku harus menunggu angkutan pedesaan. Namun belum ada satupun yang terlihat melewati jalan ini. Mungkin karena aku terlalu kepagian sampai di sini.

Image From Pixabay

Udara pagi ini masih terasa begitu dingin. Aku lihat ada juga beberapa orang yang sedang menunggu angkutan pedesaan. Tak berapa lama kendaraan yang aku tunggu akhirnya terlihat juga. Aku segera bergegas untuk menghampirinya. Sengaja aku memilih duduk di depan di samping sopir agar sedikit nyaman karena tidak berdesakkan. 

Sepanjang perjalanan yang aku lihat di  sebelah kanan dan kiri jalan yang hanyalah hijaunya sawah dan juga perbukitan. Meski masih tertutup pekatnya kabut namun cukup menyegarkan penglihatan. Matahari pun masih terlihat malu-malu menampakkan sinarnya. Hingga tak dapat menembus pekatnya kabut yang menyelimuti hijaunya dedaunan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Yang selama ini nyaris tak pernah aku lihat selama aku menempuh pendidikan dan tinggal di Ibu Kota. 

Tak terasa setelah beberapa lama dalam perjalanan dengan angkutan pedesaan sambil menikmati hijaunya pemandangan perbukitan akhirnya aku sampai juga di desa Penanggapan. Aku langsung turun persis di depan sebuah puskesmas yang letaknya bersebelahan dengan kantor kepala desa. Di sana masih tampak sepi. Belum ada satupun yang datang. 

Rasanya begitu asing, aku sendirian berada di sebuah desa terpencil seperti ini. Desa yang sama sekali tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sambil melepas lelah aku duduk di sebuah bangku panjang di ruang tunggu puskesmas itu. Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki berumur sekitar 30 tahunan memberi salam. Sekilas aku melihatnya. Meski tinggal di desa terpencil seperti ini, namun dia terlihat gagah dan berwibawa. Tampaknya dia juga tidak seperti orang desa.

"Assalamualaikum...ucapnya"

Waalaikumussalam jawabku"

Dengan sedikit perasaan kaget aku membalas ucapan salamnya. 

"Ini dengan Bu dokter Lelly ?" Lelaki itu bertanya.

Iya pak, jawabku singkat

Perkenalkan Bu dokter, saya Warso kebetulan yang menjadi kepala desa di sini. Lelaki itu mengulurkan tangannya kepaku.

Oh iya pak, perkenalkan saya Lelly sambil ku balas uluran tangannya. Kami berdua berjabatan tangan sambil memperkenalkan diri. Sesaat kemudian pak Warso menunjukkan sebuah rumah yang berada persis di belakang kantor kepala desa dan puskesmas. Rumah itu yang nantinya akan menjadi tempat tinggal aku selama bertugas di desa itu. Pak Warso segera membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk dan beristirahat. Aku segera mengiyakan karena memang aku benar-benar sudah merasa lelah. 

"Silahkan Bu dokter" kata pak Warso sambil memberikan kunci rumah itu.

"Saya permisi dulu" dia pamit sambil bergegas pergi

Aku hanya mengangguk saja mengiyakannya.

Hari-hari selanjutnya aku langsung bekerja sebagai dokter puskesmas di sana. Di sebuah desa terpencil yang jauh dari bayangan aku sebelumnya. Aku juga semakin mengenal kehidupan warga desa dan masyarakatnya. 

Demikian juga dengan pak Warso sang kepala desa di sana. Setelah aku lebih dekat berteman dan mengenalnya. Selain tampan ternyata dia adalah sosok lelaki yang sangat bersahaja, lembut namun juga tegas dan berwibawa. Dia begitu di hormati di lingkungan desa maupun warga desa. Bahkan juga di kalangan kepala desa yang lain di sekitarnya. Karena wibawa dan juga kebaikannya selama ini dalam memimpin desa. Dia juga ternyata seorang sarjana muda. Pantas kalau selama ini dia terlihat berbeda. 

Suatu sore yang indah saat dia bekunjung ke rumah, tanpa sengaja kami berdua saling bercerita banyak hal. Tentang kekagumannya kepada Umar bin Khattab yang selama ini telah menjadi inspirasinya dalam memimpin dan memajukan desa. Diam-diam tanpa aku sadari ternyata aku juga mengaguminya. Selain karena kebaikannya, juga karena sosoknya sebagai pemimpin desa yang begitu mengagumi Umar bin Khattab yang meski tegas, berwibawa namun dia juga lembut kepada rakyatnya.

#readingchallengeodop
#onedayonepost
#cerpen
#tantanganlevel2
#rcolevel2
#level2tantangan3

Sabtu, 09 Februari 2019

Resensi Novel Tantangan Level 1 RCO ODOP

RESENSI NOVEL MUARA KASIH


Judul                      :  Muara Kasih
Pengarang             :  Muthmainnah
Penerbit                 :  Asy-Syaamil Press & Grafika
Tahun terbit          : Cetakan I Bandung, desember 2000
Kota terbit             : Bandung
Jumlah halaman  : 188


Muara kasih, novel islami yang ditulis oleh Maimon Herawati, lahir di desa Palangki Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat dengan nama pena Muthmainnah. Sejak ner usia 15 tahun sudah mulai menulis dan pada usia 17 tahun karyanya mulai diterbitkan di beberapa majalah remaja.

Buku ini menceritakan tentang kisah seorang gadis mualaf keturunan Sunda dan Padang Kathrin Elizabeth Kelly. Yang semenjak umur empat hari telah masuk dan besar sebagai anak angkat keluarga Kelly. Seorang pengacara senior di Pitt and Kelly Law Firm. Karena terpaksa diberikan ibu kandungnya yang miskin dan tak mampu membayar biaya rumah sakit seusai melahirkannya, kepada wanita asing anggota aktif misionaris katolik yang kebetulan dirawat di rumah sakit yang sama.

Kathrin adalah seorang gadis yang patuh kebanggaan mom, dad dan juga kedua kakaknya. Jason, yang lebih tua 10 tahun dan Matt yang usianya hanya beda beberapa hari saja dengannya. Dia hidup bahagia penuh cinta kasih dengan banyak kenangan indah.

Dengan bimbingan Allah yang begitu indah. Awal mula Kathrin mengenal Islam hingga  mendapat hidayah keislamannya karena ketertarikannya pada Mitch atau Omar. Seorang pria teman satu sekolah dengannya. Setelah dua musim berlalu, di penghujung musim gugur Kathrin bersahadat dan memeluk Islam. Meski tidak ada yang tau selain hanya saudara seiman 

Sampai pada suatu malam sesaat setelah dinner Kathrin menguatkan diri untuk menyampaikan keislamannya.
"Mom, Dad saya ingin bicara". Sambil menarik napas panjang. "Saya sekarang muslim"

Mendengar pengakuan Kathrin Mom sangat kecewa dan terpukul hingga masuk rumah sakit. Selama ini dia sangat mengharapkan agar kelak Kathrin dapat mengikuti jejaknya menjadi aktivis gereja. Kathrin pun merasa bersalah dan tak dapat menahan kesedihannya. Hatinya merasa teriris. Kini dia dan Mom adalah dua sahabat yang telah berseberangan jalan.

Ujian keislaman Kathrin pun tidak hanya tentang sakitnya Mom. Namun konflik semakin melebar dengan pihak sekolah hingga ke pengadilan.

Kisah pun menjadi semakin rumit namun Muthmainnah menyampaikan kisah ini dengan bahasa yang lugas dan tidak bertele-tele.  ketika Kathrin mengetahui statusnya kalau dirinya adalah anak angkat. Meski lelah namun dia bertekad dengan  sepenuh jiwa untuk menggali misteri masa lalunya hingga dapat menemukan muaranya. 

Dalam kisah ini setting tempat yang menjadi view Australia, Sunda dan juga Minang memberikan banyak ragam dan warna budaya, sayangnya tidak menyajikan gambar-gambar berwarna sehingga terasa sedikit membosankan namun novel ini bagus aku suka banget dengan cerita dan juga judulnya Muara Kasih.

#resensibuku
#tantanganlevel1
#rco
#readchallengeodop
#onedayonepost